Para Pemegang Amanah Kekuasaan Seharusnya Tidak Bekerja Berdasarkan Pujian Orang (Riya)

Republika, Kamis, 13 Oktober 2011

Mengevaluasi Liberalisasi Perdagangan

Menteri Keuangan Agus Martowardojo membuka data neraca perdagangan antara Indonesia dan negara-negara mitra yang sudah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia. Hasilnya luar biasa mengejutkan. Miris kita melihatnya. Betapa bodohnya bangsa ini, terutama para pemimpinnya. Sejak perjanjian perdagangan bebas diberlakukan, neraca perdagangan Indonesia dengan negaranegara itu terjun bebas. Pelan-pelan menggerus dan akhirnya defisit. Jika ini terus dibiarkan, kita hanya akan menunggu kehancurannya saja. Tentu yang menanggung bukan pemerintah saat ini, tapi pemerintahan berikutnya.

Kita seolah kembali ke zaman VOC. Kita hanya menjadi negeri buruh dan negeri target pasar bagi negara-negara lain. Namun, mungkin kita bisa lebih buruk dari itu karena produk pertanian, perkebunan, dan hutan yang dulu menjadi andalan sudah tak lagi moncer. Sebagian sudah habis, sebagian lagi hancur karena kalah bersaing. Industri rotan kita sudah dihancurkan, nanti akan menyusul petani kentang. Kita hanya mengandalkan sawit dan batu bara. Bahkan, sejak 2010, batu bara menjadi andalan kita. Padahal, sampai tahun 2000-an, kita sudah menjadi eksportir barang-barang industri. Situasi saat ini mirip dengan pada awal Orde Baru yang hanya mengandalkan minyak bumi. Namun, Soeharto kemudian mengoreksinya dengan pelan-pelan membangun industri. Kini, industri kita dihancurkan oleh kebijakan perdagangan bebas yang sangat bodoh.

Ada yang menyebut bahwa kebijakan perdagangan bebas kita hanyalah kebijakan tebar pesona di dunia internasional. Kita ingin mendapat pujian agar seolah-olah mempunyai posisi penting di dunia internasional. Padahal, itu cuma busa sabun yang segera pecah setelah mengapung. Industri kita yang dengan susah payah dibangun dihancurkan dengan begitu saja. Perdagangan bebas yang ditujukan untuk menjadikan industri kita bisa mendapat bahan baku lebih murah, malah justru dibanjiri dengan produk barang jadi yang murah dan tak bermutu, namun cukup andal untuk menghancurkan industri kita sendiri.

Pada titik inilah, kita harus mengevaluasi kembali kebijakan perdagangan bebas. Bahan baku istimewa yang menjadi keunggulan industri kita dengan negeri pesaing harus mendapat perlindungan. Industri kita yang belum siap bersaing agar dibenahi sambil memberikan perlindungan tarif dan standar tertentu. Ini, misalnya, untuk produk pertanian, susu, daging, ikan, tekstil, alas kaki, dan barang-barang semacam itu. Jika kita terus membiarkan situasi ini berjalan seperti saat ini, jangan heran jika kemudian angkatan kerja yang baru hanya menjadi angkatan penganggur baru.

Kita harus berani perang melawan ego kita untuk sekadar dipuji negeri lain. Utamakan kepentingan nasional kita. Janji menghentikan ekspor rotan asalan sejak akhir Kabinet Indonesia Bersatu I hingga kini terus ditunda. Ada apa sebenarnya? Betulkah ini cuma soal pujian? Kini, produk pertanian pun sedang dihancurkan.

Sumber :

http://koran.republika.co.id/koran/47

 

 

Tinggalkan komentar